Senin, September 14, 2009

Melestarikan Ekosistem Danau Toba


Selain terkesan eksotis, bukit batu yang mengelilingi Danau Toba sebenarnya membuat miris. Memang aura mistis Danau Toba juga datang dari bukit-bukit berbatu tersebut. Terlebih satu di antara bukit-bukit tersebut, Pusuk Buhit, dipercaya sebagai tempat orang Batak, suku terbesar yang mendiami kawasan ekologis Danau Toba, pertama kali turun ke bumi.

Rasa miris tersebut timbul karena melihat tingkat vegetasi pepohonan di bukit-bukit tersebut sangat kurang. Hanya terlihat beberapa pucuk pinus, yang jika musim kemarau sebagian di antaranya meranggas, warnanya berubah menjadi coklat kemerahan. Selain pinus, bukit-bukit tersebut hanya tertutup ilalang. Padahal, itulah daerah tangkapan air utama Danau Toba, terutama di sisi selatan hingga barat daya danau.

Bukit-bukit yang mengelilingi Danau Toba tersebut, terutama di wilayah Kabupaten Samosir, dianggap ahli geologi terbentuk akibat proses vulkanis letusan Gunung Toba ribuan tahun silam. Menurut Ketua Dewan Pakar Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sumatera Utara Jonathan Tarigan, bukit-bukit batu itu tertutup lapisan silika sebagai akibat letusan Gunung Toba.

”Seperti kaca, lapisan silika dengan mineral diatomit yang melapisinya membuat bukit-bukit tersebut memang sulit ditanami pepohonan keras. Akan tetapi, masih tetap banyak lapisan tanah di bukit tersebut. Kami pernah mengadakan riset geologis untuk kepentingan konservasi lingkungan di kawasan tersebut dan sangat mungkin bukit-bukit itu bisa ditutup dengan pepohonan keras, selain pinus,” ujar Jonathan.

Jonathan prihatin karena upaya konservasi untuk menyelamatkan kawasan tangkapan air Danau Toba tak jua dilakukan. Kawasan Danau Toba yang secara administratif ”dikuasai” tujuh kabupaten membuat upaya penghijauan selalu kandas ketika dibicarakan di antara ketujuh penguasa kabupaten tersebut.

Sekarang keprihatinan itu tampaknya coba ditanggapi Pemerintah Kabupaten Samosir. Sabtu (5/9), secara resmi Pemkab Samosir mencanangkan strategi pembangunan wilayah secara kolaboratif dengan menggabungkan pendekatan budaya dan konservasi lingkungan hidup. ”Kami sadar, membangun Samosir harus memerhatikan konservasi sumber daya alam. Hutan, tanah, dan air harus kami lindungi karena kami berada di daerah hulu dari sekian banyak daerah aliran sungai yang bermata air di Danau Toba,” ujar Bupati Samosir Mangindar Simbolon seusai pencanangan kegiatan di situs Batu Hobon.

Menginjak bumi

Sejak hari Jumat hingga Sabtu menjelang petang, di situs Batu Hobon ribuan warga Samosir berkumpul. Batu Hobon terletak di lingkar Pusuk Buhit. Di Batu Hobon inilah konon orang Batak pertama kali menginjakkan kaki ke bumi. Raja Bius (gabungan/konfederasi antarkampung) dari 12 kecamatan yang ada di Samosir juga hadir di Batu Hobon hari itu. Dalam budaya Batak, Raja Bius adalah sosok pemimpin yang mengatur penggunaan tanah (golat) dalam satu bius. Dia juga menjadi protokol dalam sebuah upacara adat.

Kehadiran Raja Bius dan ribuan warga Samosir di Batu Hobon tak hanya mengikuti acara pencanangan strategi pembangunan wilayah secara kolaboratif, menggabungkan pendekatan budaya dan konservasi lingkungan hidup. Mereka juga hadir karena dalam acara tersebut Pemkab Samosir bersama Lembaga Konservasi Situs dan Budaya Kabupaten Samosir menggelar Mangase Taon atau pesta mengawali tahun baru dalam kalender Batak Toba.

Mangase Taon menjadi upacara yang sangat simbolis bagi komitmen Pemkab Samosir mengedepankan pendekatan budaya dan lingkungan hidup dalam membangun wilayah di tengah Danau Toba tersebut. Di hadapan ribuan warga dan semua Raja Bius di Samosir, Mangindar atas nama Pemkab Samosir berjanji akan menggunakan kearifan lokal dalam membangun wilayahnya. ”Ini sebagai wujud agar masyarakat lebih bisa mengambil peran,” katanya.

Batu Hobon dipilih karena kesakralan dan nilainya dalam budaya Batak. Komitmen atau janji yang terucap di Batu Hobon, apalagi disertai ritual Mangalahat Horbo Bius atau memberi persembahan kerbau untuk Mulajadi Nabolon (Sang Kuasa), harus ditepati. ”Salah-salah, orang yang main-main dengan ritual ini bisa kehilangan nyawanya,” ujar Alimantua Limbong, penabuh gondang dalam ritual tersebut.

Alimantua menuturkan, budaya dan tradisi lokal Batak sangat dekat dengan alam. Dia pun menghargai jika memang pemerintah daerahnya berniat menjadikan budaya sebagai pegangan membangun wilayah. ”Dari acara yang digelar di Batu Hobon saja sudah menggambarkan penghormatan terhadap situs budaya,” katanya.

Bentuk nyata strategi kolaboratif pengelolaan lingkungan di Samosir adalah upaya merevitalisasi budaya Batak dan kearifan lokal. Mangindar mengakui, kearifan lokal dalam budaya Batak sempat terkikis sejak abad ke-18, bersamaan dengan masuknya pengaruh agama Kristen ke pedalaman Tapanuli.

Menurut Mangindar, sempat ada persepsi yang salah terhadap kepercayaan lokal. Dia mencontohkan, dahulu di Samosir banyak terdapat situs budaya yang dikelilingi pepohonan rimbun. ”Kepercayaan dulu mengatakan, pohon-pohon tersebut ada penunggunya sehingga orang tak mau mengganggu. Padahal, kalau direnungkan, itu kearifan lokal agar kita tak menebang pohon-pohon tersebut. Namun, karena ada persepsi yang salah dari agama baru yang masuk, kearifan tersebut dianggap sebagai penyembahan selain Tuhan sehingga pepohonan itu harus ditebang,” ujar Mangindar.

Persepsi salah

Persepsi yang salah terhadap kearifan lokal tersebut, menurut Mangindar, harus dibayar mahal. ”Sekarang pohon-pohon endemis di Samosir yang dipercaya sebagai pepohonan khas bagi orang Batak sudah tak banyak lagi,” katanya.

Jauh sebelum pemerintah mencanangkan program ”satu orang satu pohon”, makna penting menanam pohon bagi masyarakat Batak tertanam sangat dalam di kehidupan mereka. ”Setiap kali orang Batak membuka kampung untuk pertama kali, bambu dan pohon beringin harus ikut ditanam. Pohon beringin bahkan harus ditanam di setiap sudut kampung. Itulah pohon yang menjaga kehidupan kampung kami dulu,” tutur Mangindar.

Hal itulah yang ingin kembali dihidupkan Pemkab Samosir. Menjaga kelestarian ekosistem Danau Toba, terlebih di daerah tangkapan air seperti di sebagian besar wilayah Kabupaten Samosir, dengan pendekatan budaya. Demi menggunakan kearifan lokal untuk melakukan konservasi kawasan ekosistem Danau Toba, Pemkab Samosir berani menolak investasi industri besar-besaran di kabupaten tersebut.

Padahal, tak jauh dari Samosir, di kabupaten tetangga seperti Humbang Hasundutan atau Simalungun, ribuan hektar hutan yang dulu menjadi gantungan hidup masyarakat kini berubah menjadi hutan produksi dengan jenis tanaman homogen eucalyptus untuk kepentingan pabrik bubur kertas. Pabrik ini berdiri megah di hulu Sungai Asahan yang bermuara langsung ke Danau Toba di kawasan Kabupaten Toba Samosir.

”Kami tak mau ada industri besar-besaran di Samosir. Kerusakan lingkungan hidup ka- mi jadi taruhannya. Kami justru akan berpihak kepada industri kecil dan mikro seperti kerajinan hasil budaya kami. Ini sejalan dengan pendekatan budaya yang kami pakai membangun Samosir,” ujar Mangindar.

Sebagai kabupaten seumur jagung, Samosir baru terbentuk sebagai kabupaten lima tahun silam, Mangindar tak mau siapa pun yang kelak memimpin daerah ini tak punya pegangan.

Pemkab Samosir sebenarnya menyiapkan desain besar strategi pengelolaan kawasan ekosistem Danau Toba dengan menggunakan pendekatan budaya, tak hanya untuk wilayahnya. Enam kabupaten lain, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Dairi, Karo, dan Simalungun, diajak ikut serta. Keenam daerah tersebut, seperti halnya Samosir, menjadi teritori alamiah bagi orang Batak. ”Kearifan lokal kami sama. Budaya Batak sesungguhnya teramat dekat dengan alam,” ujar Mangindar.

Upaya Pemkab Samosir juga mendapat dukungan dari pemerintah pusat. Pejabat dari Departemen Dalam Negeri yang hadir dalam pencanangan tersebut mengaku sangat mengapresiasi niat Pemkab Samosir.

”Jangan mencontoh apa yang dilakukan pemerintah daerah terhadap pengelolaan kawasan Puncak. Kawasan yang mestinya menjadi daerah resapan air justru penuh dengan bangunan vila. Puncak tak menjadi daerah tangkapan air dan berakibat pada terjadinya banjir di wilayah- wilayah yang berada di bawahnya,” kata Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pembangunan Koesnan A Halim.

Sayang acara pencanangan strategi pengelolaan kawasan ekosistem Danau Toba di Pusuk Buhit tak dihadiri satu pun bupati tetangga. Namun, Pemkab Samosir tak patah arang. Menurut Mangindar, ketidakhadiran bupati tetangga, lebih karena acara pencanangan digelar pada bulan puasa sehingga banyak kesibukan yang harus dihadapi rekan-rekannya itu.

Budayawan Batak seperti Tomson HS mengaku sangat menghargai upaya Pemkab Samosir. Revitalisasi budaya Batak, menurut Tomson, tak hanya selesai di acara seminar, tetapi juga teraplikasikan sebagai pendekatan membangun wilayah.



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/14/03024336/melestarikan.ekosistem.danau.toba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar